Galeri Foto

Senin, 16 Maret 2015

AKANKAH TEMANGGUNG MENUJU KOTA HIJAU ?



OPINI, ini sebuah tantangan ke depan tidak hanya untuk kota Temanggung, namun untuk kota-kota lain di Indonesia, fakta tekanan urbanisasi yang terjadi akhir-akhir ini dapat memicu degradasi kualitas lingkungan berbarengan dengan eksternalitas negatif seperti banjir, kemacetan, kekumuhan dan krisis infrastruktur.
Perubahan iklim ( climate change ) dan makin terbatasnya sumberdaya pendukung ( finite resources ) ada baiknya dijadikan sebuah parameter, betapa dampak dari semua itu mulai dirasakan belakangan ini, upaya mitigasi dan adaptasi harusnya diprogramkan pemerintah kota/ kabupaten dengan baik dalam arus utama pembangunan kota, demikian juga pola produksi dan konsumsi sumberdaya perlu dikembangkan dengan cara yang smart dan efisien, sehingga telapak ekologis wilayah dapat dipertahankan. 


Seperti halnya untuk kota Temanggung, tantangan seperti itu relatif sama, hanya sedikit beda pada faktor geologis maupun kultur masyarakat saja, langkah-langkah untuk meresponpun sama, harus sistematis dan nyata, melalui konsepsi pendekatan kota hijau. “ Kota Hijau “ dapat diartikan sebagai metafora pencapaian  pembangunan kota yang berkelanjutan, kota ramah lingkungan yang dibangun berdasarkan keseimbangan antara dimensi sosial, ekonomi dan lingkungan, termasuk dimensi tata kelola dalam kepemimpinan dan kelembagaan yang mantap. Masalahnya apakah para pimpinan di Temanggung mempunyai komitmen untuk semua itu, saya ingin yakin Temanggung telah memiliki Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah ( RTRW ), ada baik dikaji kembali apakah perwujudan Ruang Terbuka Hijau ( RTH ) telah memenuhi 30% dari wilayah administrative kota dengan proporsi 20% publik dan 10% privat  sesuai amanat UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang atau tidak.
Pengembangan Kota Hijau adalah kegiatan yang berorientasi aksi inovatif pada kawasan perkotaan dalam wujud enitas yang utuh, bukan himpunan sektoral. Untuk mencapainya memang harus ada kolaborasi antara pemerintah daerah dengan elemen masyarakat atau komunitas hijau, disini peran pemerintah pusat maupun propinsi hanya bersifat koordinatif dengan memberikan fasilitas bimbingan teknis dan insentif program. Dalam pencapaiannyapun perlu tahapan, yaitu tahap awal difokuskan pada 3 atribut kota hijau, yaitu Green Planning and Design, Green Open Space dan Green Community. Lalu tahap berikut diperluas ruang lingkupnya menjadi 5 atribut, yaitu Green Transportation, Green Waste, Green Water, Green Energy dan Green Building.
Memang sebuah tantangan yang tidak enteng, mungkin bagi kota Temanggung, namun demikian sejak tahun 2011 lalu 60 kabupaten/ kota telah menyatakan komitmen dan kesungguhannya untuk mewujudkan kota hijau, bahkan tahun berikutnya 2012 mereka telah mengimplementasikan Rencana Aksi dalam 3 pilar utama, yaitu pertama Software melalui penyusunan masterplan RTH dan Peta Komunitas Hijau, kedua Hardware melalui pembanguan taman/ hutan kota ramah lingkungan sebagai minatur kota hijau, ketiga Organware pemebentukan komunitas hijau dan kampanye hijau yang mencerminkan karakter program inklusif dan partisipatif.
Ke depan diharapkan perwujudan kota hijau tidak hanya tanggung jawab sektor publik, melainkan juga sektor swasta bersama komunitas masyarakat. Dalam iklim demokrasi yang dinamis dewasa ini, kolaborasi dan sinergi dalam pembangunan kota adalah sebuah keniscayaan, gerakan kolektif kota hijau bukanlah utopia, karena dengan komitmen yang kuat para pemangku kepentingan maupun kebijakan gerakan itu akan dicapai juga. Tujuan pengembangan kota hijau yang lestari pada spectrum jangka panjang dan perbaikan kualitas ruang kehidupan di kota pada spectrum jangka pendek pada dasarnya adalah tanggung kita bersama. Nah ! sudah siapkah masyarakat bersinergi dengan pemerintah untuk mewujudkan Kota Hijau ini ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar