OPINI, ini sebuah tantangan ke
depan tidak hanya untuk kota Temanggung, namun untuk kota-kota lain di
Indonesia, fakta tekanan urbanisasi yang terjadi akhir-akhir ini dapat memicu
degradasi kualitas lingkungan berbarengan dengan eksternalitas negatif seperti
banjir, kemacetan, kekumuhan dan krisis infrastruktur.
Perubahan iklim ( climate change
) dan makin terbatasnya sumberdaya pendukung ( finite resources ) ada baiknya
dijadikan sebuah parameter, betapa dampak dari semua itu mulai dirasakan
belakangan ini, upaya mitigasi dan adaptasi harusnya diprogramkan pemerintah
kota/ kabupaten dengan baik dalam arus utama pembangunan kota, demikian juga
pola produksi dan konsumsi sumberdaya perlu dikembangkan dengan cara yang smart
dan efisien, sehingga telapak ekologis wilayah dapat dipertahankan.
Seperti halnya untuk kota
Temanggung, tantangan seperti itu relatif sama, hanya sedikit beda pada faktor
geologis maupun kultur masyarakat saja, langkah-langkah untuk meresponpun sama,
harus sistematis dan nyata, melalui konsepsi pendekatan kota hijau. “ Kota
Hijau “ dapat diartikan sebagai metafora pencapaian pembangunan kota yang berkelanjutan, kota
ramah lingkungan yang dibangun berdasarkan keseimbangan antara dimensi sosial,
ekonomi dan lingkungan, termasuk dimensi tata kelola dalam kepemimpinan dan
kelembagaan yang mantap. Masalahnya apakah para pimpinan di Temanggung
mempunyai komitmen untuk semua itu, saya ingin yakin Temanggung telah memiliki
Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah ( RTRW ), ada baik dikaji
kembali apakah perwujudan Ruang Terbuka Hijau ( RTH ) telah memenuhi 30% dari
wilayah administrative kota dengan proporsi 20% publik dan 10% privat sesuai amanat UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang atau tidak.
Pengembangan Kota Hijau adalah kegiatan
yang berorientasi aksi inovatif pada kawasan perkotaan dalam wujud enitas yang
utuh, bukan himpunan sektoral. Untuk mencapainya memang harus ada kolaborasi
antara pemerintah daerah dengan elemen masyarakat atau komunitas hijau, disini
peran pemerintah pusat maupun propinsi hanya bersifat koordinatif dengan
memberikan fasilitas bimbingan teknis dan insentif program. Dalam
pencapaiannyapun perlu tahapan, yaitu tahap awal difokuskan pada 3 atribut kota
hijau, yaitu Green Planning and Design, Green Open Space dan Green Community.
Lalu tahap berikut diperluas ruang lingkupnya menjadi 5 atribut, yaitu Green
Transportation, Green Waste, Green Water, Green Energy dan Green Building.
Memang sebuah tantangan yang
tidak enteng, mungkin bagi kota Temanggung, namun demikian sejak tahun 2011
lalu 60 kabupaten/ kota telah menyatakan komitmen dan kesungguhannya untuk
mewujudkan kota hijau, bahkan tahun berikutnya 2012 mereka telah
mengimplementasikan Rencana Aksi dalam 3 pilar utama, yaitu pertama Software
melalui penyusunan masterplan RTH dan Peta Komunitas Hijau, kedua Hardware
melalui pembanguan taman/ hutan kota ramah lingkungan sebagai minatur kota
hijau, ketiga Organware pemebentukan komunitas hijau dan kampanye hijau yang
mencerminkan karakter program inklusif dan partisipatif.
Ke depan diharapkan perwujudan
kota hijau tidak hanya tanggung jawab sektor publik, melainkan juga sektor
swasta bersama komunitas masyarakat. Dalam iklim demokrasi yang dinamis dewasa
ini, kolaborasi dan sinergi dalam pembangunan kota adalah sebuah keniscayaan,
gerakan kolektif kota hijau bukanlah utopia, karena dengan komitmen yang kuat para
pemangku kepentingan maupun kebijakan gerakan itu akan dicapai juga. Tujuan
pengembangan kota hijau yang lestari pada spectrum jangka panjang dan perbaikan
kualitas ruang kehidupan di kota pada spectrum jangka pendek pada dasarnya
adalah tanggung kita bersama. Nah ! sudah siapkah masyarakat bersinergi dengan
pemerintah untuk mewujudkan Kota Hijau ini ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar