Gondosuli sebuah desa di lereng gunung Sumbing tepatnya di Kecamatan Bulu
Kabupaten Temanggung, menuju desa ini tidaklah sulit, sebab akses jalan menuju
desa bisa dilalui kendaraan. Untuk ke lokasi Desa Gondosuli menempuh jarak sekitar 12 Km
dari pusat kota Temanggung, tepatnya dari lokasi RSK Ngesti Waluyo Parakan
berjalan kearah selatan menyusuri jalan di lereng Gunung Sumbing lebih kurang 3
Km.
Ada yang menarik di Gondosuli, di tengah permukiman
penduduk di desa itu terdapat sebuah reruntuhan candi peninggalan zaman Mataram
Kuno yang dinamakan Candi Gondosuli.
Berdasarkan catatan candi ini didirikan oleh Dang
Karayan Pu Palar pada tahun 754 Saka atau 832 Tarikh Masehi, Candi Gondosuli menempati areal seluas 4.992 M, sebagai bangunan suci
persembahan untuk Sang Hyang Wintang. Namun Candi Gondosuli sudah tidak berujud
sebagai bangunan utuh seperti Candi Borobudur maupun Candi Prambanan, melainkan
reruntuhan pahatan batu andesit, dengan berbagai bentuk seperti lingga dan
yoni, patung lembu, serta sebuah prasasti tidak jauh dari lokasi, yang menandai
ihwal bangunan candi tersebut.
Menurut Prof Dr. J.G. Casparis seorang arkeolog dari
Australia, di bawah prasasti tersebut masih terpendam, bangunan candi yang
besar, sayang hal itu belum bisa digali secara luas dalam arti fisik, karena
areal tempat keberadaan prasasti di atas sebuah pemakaman umum yang
dikeramatkan oleh warga setempat.
Prasasti Gondosuli pada dasarnya berisi tentang penghibahan
tanah untuk bangunnan suci (candi) sebagai penghormatan kepada Sang Hyang
Wintang atau Sang Bintang Suci, angka tahun pembuatan terbaca dari
candrasengkala yang berbuyi: " Nama Syiwa Om Mahyana Sahin Alas Pertapaan Tahnguda
Laki-Wini mendangar wa'zt tahta pawerus dharma " yang artinya: Bhakti
kepada Syiwa. Om Mahayana (Orang Basar)
di semua batas hutan pertapaan, tua-muda laki-laki perempuan mendengar hasil
perbuatan yang baik.
Keterangan lain Prasasti Gondosuli diterjemahkan sebagai
proklamasi dari Dang Karayan Pu Palar atau Raja
Raharayan Pertapan Pu Palar yang pada tahun 754 Saka telah memerintah kerajaan
besar yang merdeka. Menurut Stapaka (ahli patung), patung Raja Raharayan di
dalam candi yang berdiri di atas tanah kuno atau tanah bunga (tanah subur)
adalah perwujudan Sang Hyang Wintang.
Selanjutnya disebutkan pula beberapa nama seperti Rakai
Kayuwangi atau Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Pu Bokapala Sri Sajjanowatunga, dan
raja-raja yang memerintah di Jawa bagian Tengah dari Kerajaan Mataram
Kuno ( Medang Kamulan/ Mataram Hindu keturunan Sanjaya ) yang kesemuanya ada 12
yaitu:
2. Rakai Panakaran ( Pasopanan )
3. Rakai Pananggalan ( Paninggalan )
4. Rakai Warak
5. Rakai Garung ( Rakai Patapan )
6. Rakai Pikatan
7. Rakai Kayuwangi
8. Rakai Watuhumaing
9. Rakai Balitung
10. Rakai Dhaksa
11. Rakai Tulodong
12. Rakai Wawa
Rakai Wawa adalah raja terakhir dari zaman Mataram Hindu
yang merupakan menantu Empu Sendok, kemudian memindahkan kerajaannya ke Jawa
bagian Timur dan menjadi raja pertama pada sebuah kerajaan Medang yang berada
di lembah sungai Brantas
Peninggalan lain dari Rakai Pikatan yang sekarang masih
dapat dinikmati adalah bekas bangunan pemandian raja-raja pada masa itu yang
berada di sebelah selatan kota Temanggung, sekarang akrab di sebut
"Pemandian Pikatan", sebuah mata air besar yang sangat dingin dan
jernih dari sungai di bawah tanah di kaki Gunung Sumbing,
Candi Gondosuli hanyalah salah satu dari beberapa
candi yang terserak di Wilayah Kabupaten Temanggung, karena di lokasi lain
masih banyak peninggalan arkeologis seperti Candi Perot, Candi Pringapus,
Perkampungan Mataram Kuno di Liyangan serta Pemandian Pikatan. Sebuah tantangan
kepada generasi muda untuk menguak mistery sejarah Temanggung, atau hanya cukup
akan dijadikan potensi wisata saja, semua tergantung generasi muda Temanggung,
tentu saja negeri ini menunggu karya terbaik para anak bangsa.
Salut kupasanya,nambah wawasan.."salam wong parakan"
BalasHapus