SEKEDAR OPINI:
Secara hipotetik, pertumbuhan dan pengembangan
kota-kota kecil di Indonesia, dari masa ke masa tak lepas dari perkembangan
kota Jakarta, sah-sah saja kalau Jakarta dijadikan parameter daerah. Padahal
dalam sebuah studi kasus, identitas kota Jakarta sendiri telah perlahan
tergerus sejak pengembangan kota Batavia (1937), hilangnya ruang terbuka yang
sarat wajah asli Betawi, diiringi degradasi budaya lokal telah membentuk
Jakarta menjadi kota modern yang kehilangan identitasnya. Jadi apa yang diharap
dari sebuah kota seperti Jakarta untuk dijadikan tolok ukur dalam konteks
membangun kota yang memiliki identitas lokal.
Belum terlambat bagi kota Temanggung, yang saat ini
masih dalam proses pengembangan kota untuk berpacu dengan kota-kota lain,
apalagi dipicu dengan mengejar citra kota Adipura. Banyak sarana dan prasarana (infrastruktur)
kota yang mesti dibangun di Temanggung, dengan satu catatan boleh berkembang
sebaik mungkin, yang penting tidak meninggalkan karakteristik daerah sebagai identitas lokal.
Memang butuh proses panjang dalam pembentukan
identitas yang merupakan karakter kota, baik ragawi (tangible) maupun nir
ragawi (intangible), identitas kota erat kaitannya dengan ritme sejarah.
Pergantian kebijakan karena bergantinya penguasa dapat mengubah konsistensi
sebuah konsep pembangunan kota, perlu sebuah masterplan yang di backup dengan
peraturan daerah yang kuat, bila perlu didukung sebuah kearifan lokal.
Kearifan lokal adalah satu-satunya pendekatan sosial
budaya yang sangat diperlukan untuk menjaga kelestarian peruntukan lahan di
kawasan yang seharusnya dikonservasi, ciri khas budaya, bangunan cagar budaya,
maupun bentang alam sudah semestinya dijadikan pertimbangan untuk dilestarikan,
jangan sampai terhapus atas nama modernisasi.
Sepertinya di kota Temanggung saat ini telah jarang
dijumpai bangunan berciri khas seperti rumah adat Kedu, apalagi bangunan cagar
budaya juga banyak yang telah berubah bentuk, begitupula bentang alam berupa
panorama Sumbing-Sindoro mulai hilang tertutup gedung tinggi dan papan reklame
yang tumbuh menjamur di segala ruas jalan secara tidak terkontrol.
Masih ada satu harapan, sebuah tata lingkungan yang
masih eksis mungkin bisa dijadikan sebuah landmark kota Temanggung, yaitu
tanaman penghijauan pohon ayoman jalan yang tajuknya telah membentuk kanopi,
mulai dari pintu masuk sampai kota Temanggung. Banyak kesan yang saya tangkap
dari pendatang luar daerah ketika masuk Temanggung, lebih-lebih kesan yang
diberikan oleh Tim Penilai Adipura yang merupakan representasi para pakar yang
telah berkeliling di seluruh kota terbaik di Indonesia, setidaknya pendatang
luar daerah yang memberikan pujian fenomena kota Temanggung. Menurut mereka
Temanggung tidak hanya diakui sebagai kota terbersih, namun juga kota yang
mampu melestarikan jalur hijau sepanjang jalan, bukankah itu bentukan alam yang
bisa menjadi sebuah karakter kota.
Bayangkan disaat kota lain berlomba-lomba menanam
pohon ayoman jalan untuk menciptakan kondisi seperti Temanggung, entah butuh
waktu berapa tahun akan terjadi, bisa jadi puluhan tahun, hingga pergantian
penguasa wilayahpun baru akan terwujud. Sayang sekali bila dalam pembangunan
infrastruktur kota, warisan alam yang dapat dijadikan identitas kota Temanggung
yang telah terbentuk baik seperti itu harus ditiadakan. Barangkali perlu sebuah
konsep terbalik, yaitu “ Pembangunan yang disesuaikan alam, bukan alam yang
disesuaikan bangunan “, yah begitulah kira-kira.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar