Galeri Foto

Senin, 23 Maret 2015

MENCARI IDENTITAS KOTA TEMANGGUNG DENGAN KEARIFAN LOKAL



SEKEDAR OPINI:
Secara hipotetik, pertumbuhan dan pengembangan kota-kota kecil di Indonesia, dari masa ke masa tak lepas dari perkembangan kota Jakarta, sah-sah saja kalau Jakarta dijadikan parameter daerah. Padahal dalam sebuah studi kasus, identitas kota Jakarta sendiri telah perlahan tergerus sejak pengembangan kota Batavia (1937), hilangnya ruang terbuka yang sarat wajah asli Betawi, diiringi degradasi budaya lokal telah membentuk Jakarta menjadi kota modern yang kehilangan identitasnya. Jadi apa yang diharap dari sebuah kota seperti Jakarta untuk dijadikan tolok ukur dalam konteks membangun kota yang memiliki identitas lokal.
Belum terlambat bagi kota Temanggung, yang saat ini masih dalam proses pengembangan kota untuk berpacu dengan kota-kota lain, apalagi dipicu dengan mengejar citra kota Adipura. Banyak sarana dan prasarana (infrastruktur) kota yang mesti dibangun di Temanggung, dengan satu catatan boleh berkembang sebaik mungkin, yang penting tidak meninggalkan karakteristik daerah sebagai identitas lokal.

Memang butuh proses panjang dalam pembentukan identitas yang merupakan karakter kota, baik ragawi (tangible) maupun nir ragawi (intangible), identitas kota erat kaitannya dengan ritme sejarah. Pergantian kebijakan karena bergantinya penguasa dapat mengubah konsistensi sebuah konsep pembangunan kota, perlu sebuah masterplan yang di backup dengan peraturan daerah yang kuat, bila perlu didukung sebuah kearifan lokal.
Kearifan lokal adalah satu-satunya pendekatan sosial budaya yang sangat diperlukan untuk menjaga kelestarian peruntukan lahan di kawasan yang seharusnya dikonservasi, ciri khas budaya, bangunan cagar budaya, maupun bentang alam sudah semestinya dijadikan pertimbangan untuk dilestarikan, jangan sampai terhapus atas nama modernisasi.
Sepertinya di kota Temanggung saat ini telah jarang dijumpai bangunan berciri khas seperti rumah adat Kedu, apalagi bangunan cagar budaya juga banyak yang telah berubah bentuk, begitupula bentang alam berupa panorama Sumbing-Sindoro mulai hilang tertutup gedung tinggi dan papan reklame yang tumbuh menjamur di segala ruas jalan secara tidak terkontrol.


Masih ada satu harapan, sebuah tata lingkungan yang masih eksis mungkin bisa dijadikan sebuah landmark kota Temanggung, yaitu tanaman penghijauan pohon ayoman jalan yang tajuknya telah membentuk kanopi, mulai dari pintu masuk sampai kota Temanggung. Banyak kesan yang saya tangkap dari pendatang luar daerah ketika masuk Temanggung, lebih-lebih kesan yang diberikan oleh Tim Penilai Adipura yang merupakan representasi para pakar yang telah berkeliling di seluruh kota terbaik di Indonesia, setidaknya pendatang luar daerah yang memberikan pujian fenomena kota Temanggung. Menurut mereka Temanggung tidak hanya diakui sebagai kota terbersih, namun juga kota yang mampu melestarikan jalur hijau sepanjang jalan, bukankah itu bentukan alam yang bisa menjadi sebuah karakter kota.
Bayangkan disaat kota lain berlomba-lomba menanam pohon ayoman jalan untuk menciptakan kondisi seperti Temanggung, entah butuh waktu berapa tahun akan terjadi, bisa jadi puluhan tahun, hingga pergantian penguasa wilayahpun baru akan terwujud. Sayang sekali bila dalam pembangunan infrastruktur kota, warisan alam yang dapat dijadikan identitas kota Temanggung yang telah terbentuk baik seperti itu harus ditiadakan. Barangkali perlu sebuah konsep terbalik, yaitu “ Pembangunan yang disesuaikan alam, bukan alam yang disesuaikan bangunan “, yah begitulah kira-kira.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar